Malang – Kondisi Sungai Brantas di Kota Malang kian mengkhawatirkan. Komunitas Brantas Mbois bersama jaringan relawan JEJAK (Jaringan Gen Z Jawa Timur Tolak Plastik Sekali Pakai) melakukan kegiatan susur sungai dan penelitian mikroplastik di kawasan Polehan, Jembatan Muharto, dan Kebalenwetan. Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa Sungai Brantas kini telah berubah menjadi “tempat sampah umum”.
Dalam kegiatan susur sungai pada Minggu (18/10), relawan menemukan berbagai bentuk pelanggaran dan pencemaran lingkungan. Warga bebas membuang sampah rumah tangga ke sungai menggunakan tas kresek atau karung, baik dari jembatan, jendela rumah, maupun pintu dapur.
Limbah kakus, toilet, dan rumah potong ayam juga langsung dialirkan ke sungai tanpa pengolahan. Jenis sampah yang paling banyak ditemukan adalah popok sekali pakai dan styrofoam, diikuti tas kresek, sayuran, dan kulit bawang. Tak hanya itu, di beberapa titik ditemukan ceceran kotoran manusia di tepian sungai dan anak-anak yang mandi di air sungai yang kotor.
Selain pencemaran sampah padat, tim juga menemukan mikroplastik dalam jumlah signifikan. Penelitian di Jembatan Muharto mencatat temuan fiber sebanyak 31 partikel per 10 liter air, filamen sebanyak 9 partikel, dan fragmen sebanyak 3 partikel. Di Kelurahan Polehan ditemukan 48 partikel mikroplastik dalam 10 liter air, dan di Kelurahan Kebalenwetan ditemukan 34 partikel. Jenis partikel terbanyak adalah fiber, yang menunjukkan tingginya pencemaran dari aktivitas domestik, seperti limbah pakaian sintetis dan plastik rumah tangga.
Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan layanan pengangkutan sampah di kawasan bantaran sungai. Akibatnya, masyarakat menjadikan Sungai Brantas sebagai tempat pembuangan akhir sampah rumah tangga. Situasi ini menciptakan aroma sungai yang anyir, mencemari air, dan membahayakan kesehatan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai.
“Walikota Malang harus turun langsung melihat kondisi sungai ini. Kami siap menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi kritis jika beliau bersedia ikut susur sungai,” tegas Afrianto Rahmawan, Koordinator Komunitas Brantas Mbois.
Ia menambahkan bahwa meskipun pengelolaan Sungai Brantas berada di bawah kewenangan pusat, pemerintah kota tetap memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi, menyediakan fasilitas, dan mengawasi perilaku masyarakat bantaran sungai.
Afrianto mengingatkan bahwa sampah yang dibuang warga Kota Malang akan berdampak pada kualitas air di 14 kota/kabupaten di sepanjang aliran Sungai Brantas. Banyak PDAM di Jawa Timur sangat bergantung pada Brantas sebagai sumber air baku. Jika pencemaran ini terus berlanjut, risiko kesehatan masyarakat akan meningkat akibat paparan mikroplastik dan kontaminan lainnya.
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan advokasi lingkungan, Komunitas Brantas Mbois menyampaikan tiga rekomendasi penting. Pertama, pemerintah harus menertibkan bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai.
Kedua, pemerintah kota dan kelurahan harus menyediakan sarana dan layanan pengangkutan sampah di kawasan bantaran sungai. Ketiga, perlu dilakukan patroli rutin serta penegakan hukum terhadap pembuangan sampah dan pencemaran sungai secara ilegal.
“Sungai bukan tempat sampah. Sungai punya hak ekologis yang harus dilindungi. Menjaga Brantas berarti menjaga kehidupan,” pungkas Afrianto. Tio