BAP Pratu Risky Sudah Cacat Sejak Awal, Replik Oditur Abaikan Fakta Penganiayaan!

Kuasa Hukum: Ini Kasus Pidana, Bukan Forum Opini

Berita, Hukum7 Dilihat
banner 468x60

Surabaya, 10 September 2025 – Sidang perkara dugaan perzinaan dengan terdakwa Pratu Risky Ahmad Bukhori (RAB) kembali digelar di Pengadilan Militer III-12 Surabaya dengan agenda pembacaan replik Oditur Militer.

Namun, dalam replik yang dibacakan Letkol Chk Yadi Mulyadi, S.H., tim penuntut sama sekali tidak menyinggung soal dugaan penganiayaan terhadap terdakwa yang sebelumnya terungkap jelas dalam fakta persidangan.

Kuasa hukum terdakwa, Letda Chk Fery Junaidi Wijaya, S.H., M.H., menilai sikap diam Oditur atas isu penganiayaan ini semakin menegaskan kelemahan dakwaan sejak awal.

“BAP yang dipakai Oditur lahir dari tekanan dan intimidasi. Itu berarti BAP sudah cacat sejak awal. Kalau itu tidak dianggap pro justitia, lalu apa arti persidangan ini? Fakta penganiayaan jelas terungkap di ruang sidang dengan saksi-saksi yang kredibel,” ujarnya seusai sidang.

 

Bukti Penganiayaan Terungkap di Persidangan

Fery menjelaskan bahwa ada minimal tiga bukti penting yang menguatkan dugaan penganiayaan: Pengakuan langsung terdakwa di bawah sumpah, bahwa dirinya pernah dipukul dan ditekan sebelum pemeriksaan formal.

Kesaksian saksi Defa (ART keluarga pelapor), yang melihat terdakwa dihajar di garasi. Kesaksian saksi Dewi Wulandari (istri Letkol DA), yang juga menyaksikan kondisi terdakwa mengalami kekerasan.

Selain itu, penasihat hukum telah menyerahkan foto-foto luka fisik terdakwa kepada Majelis Hakim. Semua bukti ini, menurut Fery, tidak bisa dipisahkan dari perkara karena langsung berkaitan dengan keabsahan BAP.

“Kalau BAP lahir dari penyiksaan, maka seluruh isinya batal demi hukum. Itu prinsip dasar dalam hukum acara pidana,” tegasnya.

Oditur Keliru Menafsirkan Pro Justitia

Oditur beralasan bahwa dugaan penganiayaan terjadi di kesatuan, sehingga bukan bagian dari proses pro justitia. Argumen ini, kata Fery, keliru dan berbahaya.

“Kalau Oditur mengatakan penganiayaan itu bukan pro justitia, itu salah besar. Justru karena fakta penganiayaan muncul di persidangan, maka ia otomatis bagian dari pro justitia. Mengabaikan fakta tersebut sama saja menutup mata terhadap kebenaran,” jelasnya.

Fery menambahkan bahwa menganggap penganiayaan sebagai urusan terpisah hanya akan merusak legitimasi peradilan.

“Hukum tidak boleh mengisolasi kebenaran. Jika terdakwa dipukul lalu dipaksa mengaku, itu bukan pengakuan, itu rekayasa. Bagaimana mungkin hasil rekayasa bisa dipakai untuk menghukum seorang prajurit?” ujarnya.

Sebelumnya, Oditur Militer Letkol Chk Yadi Mulyadi, S.H, mengatakan, dalam replik memang tidak disinggung soal adanya penganiayaan yang menurutnya tidak tidak ada kaitan dengan perkara perzinaan.

“Dalam pemeriksaan kemarin, sempat kita tanyakan kepada terdakwa, apakah di dalam proses penyidikan polisi milter, apakah ada penekanan, intervesi atau pemukulan diakui oleh terdakwa, tidak ada, ” ucapnya.

Oditur Militer Letkol Chk Yadi Mulyadi, S.H,

“Jika kalau kemudian muncul dari penasihat hukum adanya pemukulan, itu lain halnya. Itu bukan pro justitia karena dilakukan di kesatuan. Apabila itu terjadi, silahkan membuat laporan tersendiri. Dalam permasalah ini, kami pro Justitia. Karena dalam pemeriksaan persidangan ini, berdasarkan berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik, ” tambahnya.

Dakwaan Rapuh, Bukti Lemah

Lebih lanjut, Fery menegaskan bahwa selain BAP yang cacat, tidak ada satu pun saksi persidangan yang menyatakan melihat terdakwa melakukan perzinaan. Tidak ada bukti forensik, tidak ada visum, dan bahkan 32 lembar surat pribadi yang dijadikan barang bukti justru sudah terpatahkan melalui uji grafologi.

“Ini kasus pidana, bukan forum opini. Tanpa saksi persetubuhan, tanpa bukti ilmiah, dan dengan BAP yang cacat, maka dakwaan Oditur kehilangan legitimasi,” tambahnya.

Menurut Fery, ancaman hukuman 9 bulan penjara dan pemecatan dari dinas TNI AD yang dituntut Oditur sangat berlebihan, bahkan terkesan dipaksakan.

“Hukum pidana bukan alat untuk menghancurkan orang, tetapi untuk menegakkan keadilan. Kalau hukum dipakai untuk menghukum tanpa bukti, maka siapa pun bisa jadi korban berikutnya,” pungkasnya.

Asas Hukum yang Terlupakan

Fery menutup dengan mengingatkan asas in dubio pro reo – dalam keadaan ragu, putusan harus berpihak pada terdakwa. Dalam kasus ini, keraguannya bukan hanya ada, tetapi mendominasi.

“Barang yang paling merusak hukum adalah ketika pengakuan dipaksa lewat kekerasan. Ingatan manusia bisa terdistorsi ketika disiksa. Karena itu, BAP hasil intimidasi tidak bisa dijadikan landasan hukum. Majelis hakim harus berani menegakkan prinsip hukum ini,” tutupnya.

Sidang akan kembali dilanjutkan pada 16 September 2025 dengan agenda pembacaan duplik dari kuasa hukum terdakwa.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *